Mengapa Anak-anak Suka Mendramatisir Kebenaran dan Berbohong?

Mengapa Anak-anak Suka Mendramatisir Kebenaran dan Berbohong?

Berikut ini adalah Mengapa Anak-anak Suka Mendramatisir Kebenaran dan Berbohong? yang diharapkan bisa berguna, dapat dipraktekkan, serta menambah informasi yang diperlukan mengenai hal tersebut.

Semua anak suka mendramatisir kebenaran atau bahkan ‘berbohong’ tentang sesuatu ketika sedang menceritakan sebuah kejadian. Walaupun terkadang Anda frustasi mendengarnya, Walau begitu penting untuk mempertimbangkan alasan anak Anda tidak jujur, sebelum Anda bertindak.

Mengapa Anda tidak boleh mengabaikannya: Ini mungkin tidak nampak seperti masalah besar jika anak Anda mengatakan dia merapikan tempat tidurnya ketika dia hampir tidak menarik selimut, atau jika dia memberi tahu seorang teman bahwa dia pernah ke Walt Disney World ketika dia bahkan belum pernah ke sana. 

Akan tapi penting untuk menghadapi segala jenis ketidakjujuran secara langsung. Berbohong dapat jadi suatu hal yang biasa dan dilakukan secara otomatis jika anak Anda mengetahui bahwa itu adalah cara mudah untuk membuat dirinya nampak lebih baik, untuk menghindari lakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan, atau untuk cegah masalah karena sesuatu yang telah ia lakukan.

Cara menghentikannya: Saat anak Anda bohong, duduklah bersamanya dan luruskan catatan. Anda dapat mengatakan sesuatu seperti, “Akan menyenangkan untuk pergi ke Disney World, dan mungkin kita bisa pergi suatu hari nanti, tapi kamu tidak harus memberi tahu teman kamu bahwa kamu pernah ke sana, padahal kenyataannya tidak.” 

Biarkan anak Anda tahu bahwa jika dia tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, orang tidak akan percaya apa yang dia katakan. Lihatlah motivasinya untuk berbohong, dan pastikan dia tidak mencapai tujuannya. Misalnya, jika dia mengatakan bahwa dia menyikat giginya ketika ia bahkan tidak melakukannya, suruh dia kembali ke kamar mandi dan menyikatnya.

BACA JUGA:  Cara Menentukan Berapa Kali Cuci Rambut dalam Seminggu

Anda dapat menceritakan dongeng seperti The Boy Who Cries Wolf; dimana diceritakan bahwa ada seorang anak laki-laki yang mengatakan, sambil menangis, pada penduduk desa bahwa rumahnya diserang oleh srigala. Para penduduk desa yang baik hati membantunya untuk menangkap srigala tersebut. Ditengah pencarian dan kepanikan, para penduduk desa melihat anak lelaki tersebut tertawa terpingkal-pingkal, dan mengatakan bahwa mereka semua termakan tipuannya.

Penduduk desa merasa sangat kesal dengan anak tersebut, dan kembali ke desa. Beberapa hari kemudian, anak lak-laki tersebut kembali ke desa dan menceritakan hal yang sama. Awalnya penduduk desa tidak mau percaya, Walau begitu karena anak laki-laki ini terus menangis, mereka merasa iba dan akhirnya membantu lagi. Rupanya kejadian yang sama terulang; si anak berbohong untuk mengerjai para penduduk desa lagi.

Kejadian itu terulang lagi hingga 3 kali, dan penduduk desa yang telah sangat kesal mengatakan pada anak itu bahwa kalau ia datang kembali dan menceritakan hal yang sama lagi, mereka tidak akan membantunya. Si anak rupanya tidak menyesal atau merasa bersalah. 

Sampai beberapa hari kemudian, rumah anak itu benar-benar diserang oleh srigala. Anak tersebut panik, dan lari ke desa untuk meminta bantuan pada penduduk desa, Walau begitu para penduduk desa yang telah kapok dibohongi anak itu tentu saja tidak mau membantu, meskipun anak itu menangis keras dan mengatakan bahwa kali ini benar-benar terjadi. Akan tapi tidak ada satupun yang mempercayainya. Akhirnya rumah anak itu hancur diserang oleh srigala.

Dengan menceritakan dongeng yang bermoral, akan membantu anak Anda lebih mengerti bahwa membesar-besarkan cerita, apalagi berbohong, adalah tindakan yang tidak disukai oleh siapa pun. 

Scroll to Top